Minggu, 23 Januari 2011

apasaja hehe

Langit mendung diluar membangunkanku dari tidur panjangku. Dinginnya embun pagi serasa menusuk kulitku. Aku berdiri di depan cermin, mematut diri ku sendiri. Melihat refleksi diriku. Lingkaran hitam besar di bawah mata terlihat begitu jelas. Tersadar mengingat waktu berjalan tak terkira cepatnya. Kupanggil taksi diseberang jalan yang kebetulan melintas. Cengkareng, tak lain tak bukan tujuanku pagi ini.
Empat puluh lima menit perjalanan menyakitkan ini akhirnya terhenti di salah satu pilar besar berbata merah. Di pilar berbata lainnya, berdiri seorang pria gagah yang rambutnya berkibar tertiup angin. Postur tubuhnya begitu kukenal. Kudekati dirinya, jelas tergambar wajah sayu pria ini, menangis semalam tadi. Lingkaran yang jauh lebih besar, tergambar lebih jelas di bawah matanya. Terlihat lebih nyata, menggambarkan perasaannya yang jauh lebih sakit.
Kami berpeluk saling menjaga. Untuk sesaat air mengalir dari mata jatuh melewati wajahku akhirnya turun ke bahu lelaki ini. Sensasi panasnya menyadarkanku dari tangisku. Ku lepas pelukan hangatnya, kulihat betapa menderitanya pria ini. Suara gema dari segerombolan orang sebaya kami. Ya, itulah mereka. Teman sekelas kami selama tiga tahun yang tak pernah mengeluh, dan selalu setia mendampingi kami. Tak peduli akan badai merenggut mereka, ataupun air bah yang dapat menyeruput mereka ke dalamnya.
Datang menghampiri, mengahambur dalam pelukan. Dengan pelukan hangat yang kukenal, terasa begitu menenangkan. Desahan nafas mereka yang dingin, menyejukkan hati dari amarah yang membara. Harumnya tubuh mereka yang menyeruak dengan kerinduanku akan mereka.
Sesaat kami terdiam dalam tangis. Genderang hati seolah saling berpacu menghitung banyaknya detik yang kini kami bersama habiskan. Ribuan liter air mata yang tlah ditumpahkan pagi ini. Pacuan nadi seolah berlomba dengan waktu yang terus bergulir semakin cepat.
Panggilan dari suara seberang terdengar menyakitkan. Kini genderang  hati  itu kembali tertelan oleh tangis yang mendera. Suara di seberang kembali terdengar, mengulang digit demi digit angka penerbangan. Hati kecilku menangis, meraung, memberontak. Ini nomor penerbangannya. Sesaat lagi, satu detik begitu berharga sekarang ini. Ku lirik jam tangan monol yang kulingkarkan asal di sekeliling tangan mungilku.
Kutatap wajahnya, mungkin untuk yang terakhir kali. Kurasakan kecupannya yang hangat di keningku, meredakan amarah, pemberontakan, perang batin yang terjadi di dalam hatiku. Berpelukan dan menangis untuk sesaat, lalu pergi meninggalkanku.
Selamat tinggal kekasih, sahabat, kawan
Semoga kita dapat berjumpa di lain hari

Selesai
Aku tahu,
Aku harus beranjak
Berdiri
Melanjutkan mimpiku yang tertunda
Namun aku masih merasakan perihnya hati yang tertinggal
Amarah panas ini masih membakar tubuhku
Bahkan dinginnya udara pun tak dapat meredakan apinya
Sakit ini belum dapat terobati
Satu hal yang perlu kau tahu, cintaku hanya untukmu, tak lain dan tak bukan
Semoga kau bahagia, di tempat barumu di sana

cerita ini terinspirasi dari temen saya yang mau ditinggal pacarnya hehe selamat menikmati makasih sudah dibaca :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar